Home » 2012 » September » 26 » Gunung Lawu: Pelarian Ketenangan di Minggu Tenang
1:27 AM
Gunung Lawu: Pelarian Ketenangan di Minggu Tenang
Gunung Lawu: Pelarian Ketenangan di Minggu Tenang

"As we fall into sequence

And we’re eating our young

Remain silent and still for modesty”

[Crystal Castles –Celestica]

Kalender pendidikan Universitas Negeri Semarang (Unnes) telah menetapkan tanggal 24-30 Juni 2012 ini sebagai minggu tenang. Minggu ini diharapkan biasa digunakan untuk ancang-ancang mahasiswa yang hendak menunaikan ujian semester persis yang akan dilaksanaakan setelah minggu ini berakhir. Sebagai kaum muda yang masih dijiwai semangat berapi-api tentunya tidak ingin melewatkan minggu tenang ini dengan liburan ke rumah, bersantai-santai, ngemil atau tetap di kampus untuk menyempatkan seharian untuk browsing internet.

Mahasiswa Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara) yang semenjak dilahirkan memiliki prototype sebagai petualang jalanan menuju ke tempat situs-situs sejarah, namun kali ini kami sesekali mencoba kembali mendaki gunung. Tujuan pendakian kali ini adalah Gunung Lawu setinggi 3265 Mdpl, sebagai gunung berapi jenis stratovolcano yang telah lama tidak aktif dan terbentuk pada masa Holocene.

Meskipun pendakian ini bukan bagian dari program kerja Exsara, namun diharapkan kami bisa mendapatkan pengalaman baru dalam menjelajah alam dan menghayati kebesaran ciptaan Tuhan. Kami juga menyadari bahwa setiap gunung  hampir selalu dihiasi pemandangan yang indah dan menenangkan hati. Setidaknya sebelum ujian semester nanti kami merasa harus memanjakan jiwa ke tempat yang tidak terlupakan ini, meskipun raga yang menjadi taruhannya.

Gunung Lawu terletak di perbatasan antara Kabupaten Karanganyar (Jateng) dan kabupaten Magetan (Jatim). Jalur pendakian nya sebenarnya terbagi menjadi 3 yaitu Cemoro Kandang, Cetho, Cemoro Sewu, namun kami telah menetapkan hendak mendaki melalui Jalur Cemoro Sewu (Magetan) karena ternilai paling populer bagi pendaki umumnya.

 

Start

Mengingat kembali bahwa acara pendakian ini bukan bagian dari program kerja resmi, ternyata membuat acara pemberangkatan mulur dari jam-J yang telah disepakati. Lima hari sebelumnya kami merencanakan pemberangkatan akan dilaksanakan pada jam 07:00 hari Minggu 24 Juni 2012. Sebagian peserta yang ikut menanggapinya dengan lambat tanpa rasa kedisiplinan saya(’08), Feby (’08), Winarso (’08), Marwan (’08), Kadek(’11), Teguh (’11), Bayu (’11), Syaiful (’11) dan Ketut (’11) telah datang tepat waktu di PKM-FIS, menunggu kawan-kawan yang lain. Sekitar pukul 09:30 menyusul rombongan Nanang (’08), Harry (’08) datang juga Aris (’08) dan Aji (’08). Lengkap sudah semua peserta, namun ada kecerobohan lain yang tidak terpikirkan sebelumnya yaitu peminjaman tenda, satu tenda dum milik Exsara dirasa kurang cukup untuk menampung 13 orang maka diusahakan secara mendadak harus mendapatkan 1 tenda lagi. Kemelut ini akhirnya bisa diselesaikan satu jam kemudian dan mandapatkan 1 tenda dari salah seorang kawan. Uluran waktu selanjutnya adalah masalah packing, dari 13 peserta hanya membutuhkan 1 tas carier dan yang lainnya menggunakan tas standar.

Setelah semuanya siap, maka sebelum pemberangkatan dimulai dengan do’a dan seruan kekompakan "Exsaraaaaaaaaaaaaa. . . . . . . . .  suegereeeeee!!!!!!!”. Tepat pukul 11:00 setelah satu sama lain siap memegang tuas gas motor masing-masing, baru tersadar ternyata ada permasalahan belum selesai. Kecerobohan dalam menghitung jumlah motor yang akan dipakai, ternyata kurang 1 motor. Demi menghemat waktu beberapa peserta mendahului pemberangkatan menuju ke SPBU terdekat (Muntal) dan hendak menunggunya disana. Harry mengambil motornya sebagai solusi kecerobohan ini, sekaligus ia berbelanja bekal-bekal dari uang kas yang telah terkumpul. Seharusnya semua sudah lengkap, namun ada saja halangan. Motor yang dipakai Winarso ada ganguan dengan tarikan koplingnya. Akhirnya kami kembali menunggunya diperbaiki di bengkel. Tercatat pukul 12:10 pemberangkatan dari Semarang menuju Gunung Lawu dimulai.

Tujuh motor berjalan dengan lincah menapak aspal dan membelah polusi di Jalanan Ungaran. Hingga di pertigaan Bawen jarum jam  menunjukan pukul 12:40, semua dengan kompak melibas Kecamatan Tuntang dan masuk ke jalur alternatif Salatiga. Tengaran-Boyolali dan Kertasura tidak perlu diingat-ingat lagi kerena perjalanan begitu lancar dan kami melaju dengan kecepatan tinggi. Memasuki kota Surakarta keadaan terlihat macet. Satu-satu motor diantara kami terpaksa berpencar mencari jalan sendiri-sendiri agar bisa terbebas dari macet. Hingga di pertigaan kota kami bertemu kembali mengambil arah timur menuju Karanganyar. Setelah kembali menengok ke belekang ternyata rombongan belum lengkap, Winarso dan Teguh dikabarkan salah ambil jalan di pertigaan itu. Hingga kami sejenak berhenti pukul 14:00 tepat di depan Kodim 0735 Surakarta sambil menghubungi terus Teguh dan Winarso. Akhirnya mendapat kesepakatan untuk saling bertemu di sekitar Stadion Manahan. Seperempat jam kemudian kami menuju Manahan tepatnya di taman depan stadion, beberapa teman mulai terkulai tiduran dan beberapa ada yang menggoda gadis lewat. Aris yang terus mengeluhkarena lapar, akhirnya kami sepakat untuk mencari angkringan ditengah perjalanan pencarian ini akhirnya bertemu juga dengan Winarso dan Teguh. Kami sejenak singgah di sebuah angkringan di belakang Stadion Manahan dekat Universitas Sebelas Maret.

Setelah lapar dan dahaga semua terobati, kini saatnya melanjutkan perjalanan. Namun baru disadari ternyata motor yang ditunggangi Marwan dan Syaiful bannya bocor. Terpaksa kembali menunda perjalanan hingga seperempat jam. Winarso agak frustasi kalau ternyata spatu yang dipakainya alasnya setengah tidak menempel lagi menyerupai mulut buaya, sehingga dia memutuskan tertidur sejenak di pinggir jalan sembari menunggu ban motor marwan selesai ditambal.

Gas motor kembali ditarik dan roda-roda mulai berputar keluar dari kompleks Stadion Manahan dan kembali ke Jalur menuju Karanganyar. Jalanan ini membangkitkan kembali memori-memori ekspedisi Exsara yang dulu juga sempat singgah di Tawangmangu.

Melintasi Tawangmangu kami mendapati suasana yang nyaman dan indah. Dimana jalan raya terlihat sepi, halus dan rapi. Belasan meter tingginya tebing menyambut kami dengan penuh keagungan. Di senja ini terlihat penjual-penjual strowberi telah meninggalkan papan penjualannya di tepi jalan, berpasang-pasang kekasih sedang menikmati senja cerah di tepian jalan ini. Ketika jalan terbelah menjadi dua kami dihadapkan pada gapura perbatasan antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur dan selamat datang Kabupaten Magetan. Lekaslah kami sampai di POS Pendakian Cemoro Sewu.

 

Malam yang Terang di Bulan Juni

Pertama yang hendak kami temui adalah pemilik Base Camp Pos Pendakian Gunung Lawu, sesegera mungkin kami ingin mengurus pembayaran dan ijin mendaki. Ternyata pemilik Base Camp malah melempar kami agar membayar saja ke Loket Wisata Cemoro Sewu. Tarifnya cukup murah yaitu Rp.5000/Pendaki, namun tidak termasuk biaya parkir. Motor-motor dititipkan ke rumah warga sekitar yang melayani jasa penintipan ini per motor dikenakan biaya Rp.5000/hari.

Baru sampai di Basecamp

 

 

Basecamp seketika dipenuhi barang-barang kami, dan beberapa teman ada yang merebahkan diri di atas tikar untuk menekuk badan dan menghangatkan diri. Udara di Basecamp saja tergolong sangat dingin, menurut informasi bahwa Jalan Raya yang menghubungkan Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu ini adalah "jalan raya tertinggi di Jawa Tengah” dengan ketinggian 1900 Mdpl. Udara yang begitu dingin ini sedikit memaksa kami agar tidak lama-lama berada di Basecamp agar tidak sempat muncul rasa pesimis untuk mendaki. Setidaknya setelah mengumpulkan tenaga dan makan malam kami harus segera berangkat. Untuk mengefisienkan beban, kami memutuskan untuk meninggalkan barang yang tidak perlu seperti peralatan mandi dan sandangan untuk salin. Sehingga beberapa dari kami ada yang  tampak mendaki tanpa membawa barang apapun kecuali jaket, kaoskaki dan sarung tangan yang dikenakannya. Terjadi pembagian tugas, ada yang membawa tas yang berisi makanan saja, ada yang tasnya khusus dipenuhi botol-botol berisi air, ada yang khusus membawa pakaian hangat, sementara satu tas carier berisi tenda, matras, alat masak dan gas. Anehnya diantara kami tidak ada yang membawa P3K, seolah yakin semua akan lancar, hanya beberapa orang saja yang membawa obat sakit kepala.  

Tampak di depan kami ada puluhan rombongan pendaki berseragam serba hitam, mereka adalah rombongan pecinta alam SMA Negeri 1 Klaten. Kami memutuskan untuk berangkat terlebih dahulu mendahului mereka. Setelah do’a bersama, kembali kami menggemakan seruan "Exsaraaaaaaaaaaaaaaaa, Suegereeeeee!!!!!!!!”. Langkah demi langkah kami menusuk kegelapan Cemoro Sewu. Hutan Cemara dan Akasia terlihat sangat misterius di malam hari, bagaikan orang jangkung berjubah hitam dan sangat pendiam. Sesekali ia berdesis suara yang ditimbulkan dari gesekan antar daun yang diterpa angin.

Harry diantara kami yang bertubuh paling besar dan gempal, namun ia ternyata orang pertama yang mengeluh tentang beratnya perjalanan. Namun keluhanya nampak tidak berpengaruh pada teman-teman yang lain. Harry terus disemangati dengan berbagai kata-kata seperti bahwa dia harus membayangkan bahwa di puncak nanti ada seorang wanita yang paling ia dambakan sedang menunggunya.

Perjalanan terus berlanjut melewati beberapa pesanggrahan yang berdinding kayu dan dibelakangnya terdapat mata air. Sejenak kami disitu becanda sepuasnya khususnya teman-teman dari angkatan ’08 dan ’10, sementara beberapa teman dari angkatan ’11 terlihat diam saja atau turut senyum-senyum dengan lelucon kami. Perjalanan kembali dilanjutkan beberapa diantara kami bergilir menggendong tas.

Meski berkali-kali Harry meminta untuk istirahat, tapi ia belum gentar juga untuk menyerah. Ketika kawasan hutan cemara telah dilalui kami memasuki sebuah taman bunga yang sangat indah. Harry meminta istirahat dan berbaring begitu juga dengan teman-teman yang lain. Sambil memandang gemerlapnya bintang. Pancaran sinarnya bagaikan Kristal yang menjadi sumber dinginnya dingin gunung Lawu ini. Tibalah kami di Pos I dengan ketinggian 2100 Mdpl, terdapat sebuah pondok yang layak pakai, tapi kami sama sekali tidak menyempatkanya untuk singgah. Langsung saja kami mencari-cari Pos II di depan yang tanpa disangka ternyata masih sangat jauh.

Medan batu yang tergolong rapi ini sangat memudahkan kami untuk mendaki setiap tangga menuju ke puncak, namun terpaan anginlah yang seringkali membuat kami gemetar. Hingga sesekali kami menemukan kawasan yang sedikit lebar dan tidak menutupi jalan pendakian, kami sejenak berhenti untuk memasak kopi atau teh, menikmati roti tawar yang diberi butiran coklat serta berbagi biscuit coklat. Semua diantara kami merebahkan badan beristirahat di sela-sela batu guna melindungi diri dari terpaan angin.

Saya (berkaca mata) istirahat sejenak, terlihat Harry (Celana Jeans Biru) sedang kepayahan

Setengah jam istirahat berlangsung, dan perjalanan dengan energy baru siap untuk dilanjutkan. Kami sangat mendambakan kabar baik tentang telah sampainya di Pos II. Memang selang tidak lama kemudian kami sampai pada Pos II, berhubung pondoknya telah dipakai orang lain, maka kami memilih untuk mendirikan tenda di tempat longgar yang lain. Persis berda di bawah tebing yang tinggi. Pos ini dikenal dengan Watu Gedek berada di ketinggian 2300 Mdpl.

Dua tenda dum telah didirikan dengan cepat oleh beberapa teman yang masih sanggup bergerak. Beberapa teman yang lain ada yang istirahat menghela nafas, ada yang berusaha memanaskan sendi-sendi jarinya yang kaku, ada yang kehausan. Sungguh kami tidak tahan untuk berlama-lama diluar, meski sekedar unutk memasak sesuatu. Seketika setelah tenda sempurna berdiri akhirnya semua berebut tempat untuk tidur. Tenda yang satu berisi 6 orang dan yang satunya berisi 7 orang.

Untuk tenda seukuran itu keduanya tergolong overloaded untuk dimuati 6-7 orang. Sehingga pola tidur sangat tidak beraturan saling berdesakan. Disamping dinginya udara dari luar mampu menembus ke dalam tenda, suasana dalam tenda sangat tidak nyaman. Akhirnya Saiful terkena masuk angin dan sempat muntah-muntah dikeluarkan diluar tenda. Tidak ada teman lain yang mempedulikan karena semuanya juga merasakan hal yang tidak nyaman pula, berperang dengan rasa dingin yang menusuk.

Sementara saya yang berada di tenda berisi 7 orang akhirnya memutuskan keluar sendiri dari tenda karena aku merasa dua kali lebih tersiksa jika berada di dalam. Dengan berfikir singkat akhirnya saya mencabut cover (lapisan ke-2) tenda untuk saya jadikan selimut ketiga. Selimut pertama saya mengenakan sarung, selimut kedua saya lapisi dengan selimut tebal TNI dan selimut ketiga adalah cover tenda itu sendiri. Suasana lebih nyaman namun rasanya lebih dingin daripada di dalam tenda. Dalam dinginya Pos II saya sempat merenung dan berpuisi:


Halimun Malam

Samar tetaplah samar

Mengaburkan pandang

Senyap, tak pernah berderu.

 

Ketika langkahku terus mengayun

Duniawi terasa merentang terpisah

Batas-batas semu antara fana dan khayangan

Antara sementara dan sebuah keabadian

 

Ragaku merebah, menatap bintang menebar cerah

Gugusan abadi berselendangkan awan tipis

Kian mendekat, mataku sayu dihempas halimun

Putih kasih, laksana roh-roh bidadari surga

Datang tuk menggodaku

 

Peluk dan dekaplah aku

Aku yang baru saja disambar kesedihan

Basuhlah aku dengan dingin kesucian

Sepuhlah aku dengan kedamaian

Angkatlah aku dalam keabadian.

 

Pos II Gunung Lawu, 24 Juni 2012

 Bersambung


Views: 13920 | Added by: exsara | Tags: gunung lawu, ekspedisi, sejarah, pendakian | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
Name *:
Email *:
Code *:
Investigationes
CHARLES S. ANDREWS
3139 Brownton Road
Long Community, MS 38915



+7 495 287-42-34 info@ucoz.com
Mirum
sample map