12:13 PM Genjer-genjer, Pembelokan Sejarah yang Tercecer | ||||
Genjer-genjer, Pembelokan Sejarah yang TercecerGenjer-genjer, bagi teman-teman yang pernah merasakan hidup di jaman Orde Baru dan menonton film pengkhianatan G30S/PKI pasti akan sangat mengenalnya. Film tersebut adalah film wajib yang harus diputar di setiap malam 30 september hingga menjelang masa reformasi. Kenapa lagu ini berkaitan dengan Film itu, tak lain di salah satu bagian film "propaganda” itu kita akan menemukan penggalan kisah pembantaian para Jendral. " Konon " saat peristiwa tersebut berlangsung, anggota Gerwani selaku Ormas underbow PKI menyanyikan lagu ini untuk mengiringi "prosesi” penyiksaan ke-tujuh Jendral AD hingga meninggal. Mereka yang di film tersebut oleh anggota PKI selalu disebut sebagai anggota Dewan Jendral yakni sekumpulan Jendral AD yang berniat mengkudeta kekuasaan presiden Soekarno. Satu per satu para Jendral yang ditawan di Lubang Buaya disiksa oleh petinggi partai dan pimpinan ormas underbownya. Sementara di halaman rumah yang digunakan sebagai tempat penyiksaan, anggota dan simpatisan PKI menari sambil diiringi alunan suara ibu-ibu Gerwani yang menyanyikan lagu Genjer-genjer yang telah "diplesetkan” syairnya menjadi seperti di bawah ini.
Jendral Jendral Nyang ibukota pating keleler
Jendral Jendral isuk-isuk pada disiksa Sebelum berpanjang lebar membahas masalah lagu ini, mari kita sama-sama mempelajari sejarah penciptaan lagu genjer-genjer.
** Sejarah Lagu Genjer-genjer **
Lagu
"Genjer-genjer” diciptakan oleh seorang seniman Banyuwangi bernama
Muhammad Arief. Menurut beberapa orang tokoh pegiat seni dan budaya
Banyuwangi yang juga merupakan teman seangkatan almarhum Muhammad Arief,
lagu ini diciptakan sebagai gambaran keadaan masyarakat Banyuwangi pada
zaman pendudukan Jepang. Saat itu Banyuwangi, yang sedari jaman
kerajaan Majapahit terkenal sebagai salah satu lumbung pangan di pulau
Jawa tak pernah mengalami paceklik / kekurangan pangan. Hasil bumi yang
melimpah dari tanah Blambangan (Banyuwangi-Red,
asal kata Blambangan adalah Balumbung, yang artinya lumpung pangan.
Blambangan dulu meliputi 5 kabupaten di Jawa Timur saat ini, yakni
Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi)
selalu mampu mencukupi kebutuhan masyarakatnya, bahkan hampir tiap masa
panen selalu dikirim dan dipasarkan ke daerah lain. Keadaan itu berubah
sejak kedatangan Jepang di Bumi Blambangan.
Pada
masa pendudukan Jepang, banyak warga Banyuwangi yang sedang memasuki
usia produktif terutama kaum pria-nya ditangkap dan dijadikan sebagai
perkeja paksa/Romusha. Mereka di kirim ke seantaro Nusantara bahkan
sampai ke daerah Indo China ( Thailand, Kamboja, Vietnam, Burma dan Laos
). Mereka dipekerjakan di kamp-kamp militer Jepang yang sedang
berperang dengan sekutu. Keadaan ini mengakibatkan lahan pertanian di
Banyuwangi terbengkalai dan tak terurus. Hasil panen yang melimpah turun
drastis. Jangankan untuk dikirim ke luar daerah, untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat Banyuwangi saja tidak mencukupi. Banyak warga yang
mengalami kelaparan dan meninggal dunia.
Muhammad
Arief yang saat peristiwa itu tidak ikut ditangkap oleh pihak Jepang
menciptakan lagu Genjer-genjer karena terinspirasi dari masakan sang
istri, Sayekti. Karena ketiadaan sayur mayur dan ikan, Sayekti mengolah
tanaman Genjer untuk sayuran. Olahan Genjer yang biasanya dimasak
oseng-oseng / tumis ternyata menggugah selera makan M. Arief. Masakan
itu terasa enak dan sejak saat itu begitu disukainya dan juga warga
sekitar.
Genjer adalah sejenis gulma yang biasa hidup di antara tanaman padi di sawah. Awalnya genjer yang dalam bahasa latinnya disebut limnocharis flava oleh
masyarakat Banyuwangi hanya digunakan untuk makanan ayam, itik ataupun
babi. Karena kejadian itulah, maka M Arief menciptakan lagu
Genjer-genjer, yang menurut H Adang CY dan Hasnan Singodimayan sebagai
bentuk sindiran pada penjajah Jepang. Di beberapa situs yang sempat saya
kunjungi untuk mencari referensi, lagu ini diciptkan sekitar tahun
1942/1943. Haji Adang CY dan Hasnan Singodimayan sendiri adalah teman
seangkatan M Arief.
Masih
menurut kedua karib Almarhum tersebut, lagu Genjer-genjer diciptakan
juga karena terilhami lagu mainan yang saat itu sudah melegenda di
Banyuwangi. Lagu yang dimaksudkan mereka berdua berjudul " Tong ala
gentong ali-ali moto ijo. ". Dan oleh M Arief dikasih syair yang
diperbarui hingga jadilah lagu genjer-genjer yang kontroversial itu.
Berikut syair asli lagu genjer-genjer berdasarkan buku catatan M Arief
yang ditunjukkan Sinar Syamsi, putra tunggal Almarhum.
Genjer-genjer nong kedo’an pating keleler
Genjer-genjer nong kedo’an pating keleler Ema’e thole teko-teko mbubuti genjer Ema’e thole teko-teko mbubuti genjer Oleh satenong mungkur sedot sing toleh-toleh Genjer-genjer saiki wis digowo mulih
Genjer-genjer esuk-esuk didol neng pasar Terjemahannya :
Genjer-genjer ada di lahan berhamparan
Genjer-genjer ada di lahan berhamparan Ibunya anak-anak datang mencabuti genjer ibunya anak-anak datang mencabuti genjer Dapat sebakul dipilih yang muda-muda Genjer-genjer sekarang sudah dibawa pulang
Genjer-genjer pagi-pagi dibawa ke pasar ** Kenapa Lagu Genjer-genjer Identik dengan PKI? **
Lagu
Genjer-genjer, yang awalnya hanya dinyanyikan masyarakat Banyuwangi dan
mulai dikenal di Indonesia sekitar tahun 1960-an awal. Pada kisaran
tahun tersebut, lagu genjer-genjer dinyanyikan oleh Bing Slamet dan
lilis Suryani. Dan setelah dinyanyikan oleh mereka berdua, lagu itu
semakin terkenal.
Di salah satu situs ( Detik Forum
) disebutkan kenapa lagu ini sempat dikaitkan dengan PKI. Hal itu tak
lepas dari andil salah satu petinggi PKI yang juga petinggi LEKRA (
LEmbaga Kesenian RAkyat -Underbow PKI ) bernama Njoto. Tahun 1962, Njoto
yang sedang dalam perjalanan menuju Bali mampir dan singgah di
Banyuwangi. Saat itulah lagu "genjer-genjer” oleh seniman Banyuwangi
ditampilkan untuk menghiburnya. Njoto yang memang bernaluri seni cukup
baik segera mencium gelagat jika lagu itu akan menjadi booming di
jamannya. Dan benar, tak lama setelah itu lagu itu seakan menajadi lagu
wajib bagi TVRI dan RRI yang semakin rajin menyiarkannya.
Selepas
kunjungan Njoto di tahun 1962 itu, hubungan antara aktifis LEKRA dan
seniman Banyuwangi semakin mesra. Njoto meminta M Arief untuk membuatkan
beberapa lagu yang bernafaskan PKI antara lain lagu Ganefo, 1 Mei, Mars
Lekra, Harian Rakyat dan
proklamasi. Sebagai mantan tentara dan pegiat Seni, M Arief akhirnya
diberi jabatan sebagai anggota DPRD Banyuwangi mewakili PKI.
Selepas
tragedi 30 September 1965, menurut Sinar Syamsi ( putra M Arief ) yang
saat itu berusia 11 tahun terjadi demo besar-besaran di Alun-Alun
banyuwangi. Demo itu digawangi berbagai ormas menuntut pembubaran PKI
dan pengadilan terhadap para aktifisnya. M Arief yang merasa terancam
akhirnya melarikan diri hingga akhirnya tertangkap oleh CPM di Malang.
Peristiwa
itu bisa jadi ada, selain karena M Arief aktif dalam berbagai kegiatan
PKI, juga karena selepas tragedi berdarah itu beredar syair gubahan lagu
genjer-genjer yang beredar. Syair yang beredar itu seperti cuplikan
syar di awal artikel ini. Sejak penangkapan itu, kabar berita tentang
Muhammad Arief yang awalnya bernama Syamsul Muarif hilang bagai ditelan
bumi. Hingga kini kabar keberadaan beliau tak pernah terungkap. Jika
masih hidup ada di mana dan jika sudah meninggal, di mana pusaranya pun
tak pernah tahu.
Jika
keberadaan M Arief tak pernah terungkap. Sementara Sayekti selaku istri
dan salah satu yang menginspirasi terciptanya lagu tersebut memilih
tetap tinggal di Banyuwangi. Karena stigma negatif keluarga PKI,
Sayekti sempat mengalami stress. Sayekti akhirnya meninggal dunia 26
januari 2007 lalu.
Karena
stigma itu pula, Sinar Syamsi sempat menimbang kemungkinan untuk
beralih kewarganegaraan. Menurut pria yang sempat beberapa kali di-PHK
dengan alasan tak jelas, saat ini ada dua negara yang jadi
pertimbangannya yakni Belanda dan China. Dia berharap, jika jadi pindah
kewarganegaraan, dirinya akan memperoleh kehidupan yang lebih baik dan
terlepas dari stigma negatif tragedi kelam itu.
** Kesimpulan **
Jika
menilik dari berbagai rujukan yang ada, sebenarnya lagu Genjer-genjer
tidak ada kaitannya dengan PKI. Lagu itu diciptakan sebelum bangsa ini
merdeka. Meski saat penjajahan Jepang, PKI juga sudah eksis di
Indonesia, namun di sejumlah situs yang pernah saya kunjungi dan
penuturan sahabat karib almarhum, bisa disimpulkan jika beliau baru
terlihat aktif di PKI dan LEKRA selaku organisasi underbow PKI di
kisaran tahun 1960-an.
Mengenai
"gubahan” lagu genjer-genjer versi GERWANI yang saya tampilkan di awal
artikel ini, ada sebuah postingan menarik di detik forum. Di salah satu
paragraf disebutkan bahwa yang pertama kali memplesetkan syair lagu
genjer-genjer adalah " harian KAMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
).” Hal ini diperkuat dengan catatan harian seorang Hasan / Hasnan
Singodimayan, kawan karib almarhum yang juga aktifis HSBI ( Himpunan
Seni dan Budaya Islam – Underbow partai Masyumi ).
Sebagai
bagian akhir dari artikel ini, penulis menghimbau teman-teman yang
mebaca artikel ini, mari kita sudahi kontroversi lagu genjer-genjer.
Bagaimanapun lagu ini tidak salah dan tidak ada kaitannya dengan PKI.
Lagu ini hanyalah sebuah karya seni adiluhung yang diciptakan melalui
proses perenungan yang dalam melihat kesengsaraan rakyat Indonesia (
umumnya ) dan masyarakat
Banyuwangi ( khususnya ), yang pada masa itu dijajah Jepang. Lagu ini
sebagai salah satu bentuk perlawanan. Jika tentara melawan agresor
dengan senapan di tangan, Wartawan dengan penanya. Pun dengan seniman,
dia melawan dengan karya seni yang dihasilkan.
Yang
salah dalam kasus lagu genjer-genjer bukanlah lagunya, tapi hanya
penciptanya. Seumpama keluarga, lagu Genjer-genjer adalah anak yang
terlahir dari orang tua yang distigmakan negatif. Seperti halnya seorang
anak penjahat, jika dia boleh memilih pasti akan memilih terlahir dari
kedua orang tua yang baik-baik. Begitupun produk seni, meski pada
akhirnya menjadi alat propaganda, penulis yakin itu hanyalah ulah oknum
yang pandai memanfaatkan keadaan.
" Seni adalah Seni. Stop menyebarkan propaganda dan kebencian politik melalui media seni. "
Sumber: (sejarah.kompasiana.com: 2012) | ||||
|
Total comments: 0 | |