Home » 2012 » October » 26 » RITUAL ADU MACAN DI JAWA
1:53 AM
RITUAL ADU MACAN DI JAWA
oleh: Bain Yusup
*dosen Sejarah Unnes

 
Tidak pernah diketahui dengan pasti kapan tradisi adu macan melawan kerbau mulai tumbuh di Nusantara, khususnya di Jawa. Ada dugaan bahwa tradisi ini telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu Buda. Namun ada juga dugaan lain yang menyatakan bahwa tradisi mulai ada sejak kerajaan Demak hingga Mataram. Dari kedua dugaan itu, belum didapatkan pembuktian yang akurat. Tradisi itu bernama "Rampogan Macan”. Rampogan berasal dari kata Rampog yang berarti "rayahan” atau "rebutan” dimana ratusan orang seperti berebutan membunuh macan dengan menggunakan tombak. Tradisi ini tentu bukan merupakan tradisi rakyat, melainkan tradisi para ningrat, khususnya lagi para raja. Sebab penyelenggaraan tradisi semacam ini memerlukan berbagai sarana yang tidak murah dan mudah. Kecuali itu tradisi ini memang menjadi semacam hak khusus raja. Tidak mengherankan juga jika penyelenggaraannya dilakukan secara besar-besaran dan mengambil tempat di alun-alun keraton.
Prosesi ritual adu macan yang telah diadakan di Mataram sejak abad ke-17 itu secara folisofi mempunyai arti mendalam bagi orang Jawa. Menurut Ann Kumar dalam Prajurit Perempuan Jawa, mereka mencitrakan diri sebagai kerbau (maesa) dan melihat orang asing sebagai macan (simo). Tapi bagi Robert Wessing, antropolog Universitas Illinois, identifikasi orang Jawa terhadap macan jauh lebih kompleks, bahkan sangat ambigu. "Orang Jawa juga melihat macan sebagai perwujudan leluhur sehingga mereka kerap memanggilnya kyai. Tetapi kemudian macan dapat menjadi bencana atau pengganggu keselarasan sehingga harus disingkirkan,” tulis Wessing dalam "A Tiger in The Heart: The Javanese Rampok Macan,”. Selain itu, macan dicitrakan serupa dengan niat jahat atau nafsu buruk di dalam diri yang harus ditaklukkan.
Pandangan orang Jawa terhadap kerbau lebih sederhana daripada terhadap macan. Orang Jawa kuno memandang kerbau sebagai kendaraan bagi manusia di kehidupan akhirat. Dalam literatur weda, kerbau dipercaya sebagai pengusir kejahatan dan pemurni harmoni. "Dengan demikian, pertarungan antara kerbau dengan macan di alun-alun itu dapat diterjemahkan sebagai pertarungan antara keselarasan dengan kekacauan,” lanjut Wessing. Demikianlah makna simbolis dari tradisi adu kerbau melawan macan di Jawa menurut para ahli.
Pertarungan itu mulai berubah bentuk memasuki abad ke-18. Macan bukan hanya diadu dengan kerbau tapi juga dengan manusia. Kala itu, Mataram telah terbagi dua menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Rampogan macan dihelat di alun-alun utara dua kerajaan tersebut. Pigeaud, ahli sejarah Jawa kuno, menyebut tradisi mengadu macan dengan manusia di Jawa telah ada lebih awal. Tapi Wessing menyatakan tak ada bukti tertulis yang menyebut ajang adu macan dengan manusia sebelum masa Islam. Reid pun berpendapat serupa: "Tidak ada tradisi adu macan dan manusia pada abad ke-17 atau sebelumnya.”
Rampogan menyebar hingga karesidenan Kediri, Blitar, dan Tumapel memasuki dekade 1860-an. Di Kesultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta masih rutin menggelar rampogan sampai abad ke-19. Junghuhn, seorang ahli tanaman yang mencintai alam Hindia Belanda, pernah menuliskan pengalaman menyaksikan rampogan di Surakarta pada Agustus-September 1844. Dia menyaksikannya sedari pagi hingga siang. Ketika beberapa kandang sudah habis terbakar dan dua abdi sedang membuka kandang keempat atau kelima, matahari biasanya sudah jauh di atas kepala.
Dari catatan catatan sejarah tidak satu pun yang menuliskan hubungan antara rampogan macan dengan hari raya Idul Fitri meskipun acara itu biasanya digelar pada setiap 1 Syawal. Pada masa Mataram, ada sementara pendapat bahwa rampogan macan secara teknis mengandung dua maksud. Pertama, sebagai prosesi ritual untuk melatih keberanian para prajurit dan pembuktian keampuhan persenjataan. Kedua, sebagai upacara penghormatan kepada para tamu agung pimpinan pemerintah kolonial diantaranya gubernur jendral. Untuk keperluan adu macan tersebut Keraton membuat kandang macan di sebelah selatan bangsal petalon, alun-alun utara. Macan yang akan diadu tidak hanya satu jenis, disamping ada macan gembong, juga ada macan tutul dan macan kumbang. Macan-macan itu masih kuat dan liar. Macan-macan itu akan diadu dengan kerbau liar di dalam grogol atau pagar besi, ditonton Sinuhun dan tamu-tamu kehormatan dari atas panggungan. Adapaun masyarakat beramai-ramai menonton dari pinggir alun-alun.
Acara dimulai dengan beberapa abdi gandhek berpangkat bupati muda dengan memakai busana kampuhan basahan berjalan pelan-pelan diiringi irama gendhing menuju kandang macan. Salah satu dari abdi gandhek kemudian meloncat ke atas kandang macan mencabut pedang lalu memutus tali pengunci kandang sampai putus. Ada kalanya macan yang dilepas dari kandangnya itu tidak masuk ke pegrogolan dimana kerbau lawan tarungnya telah menanti, akan tetapi malah mengejar abdi gandhek yang berjalan kembali ke tempatnya semula sambil berjoget atau bertayungan. Oleh karena menjalankan pekerjaan yang sangat berbahaya, maka gandhek tadi merupakan abdi yang pilih tanding. Siapa orang yang tidak ciut nyalinya menghadapi macan liar yang lagi marah. Meskipun begitu jika gandhek tadi sampai terancam jiwanya, maka para prajurit yang berbaris rapat mengelilingi alun-alun dan sudah siap dengan tombaknya akan membantu menyelamatkan jiwanya dengan cara menghujani macan tersebut dengan tombak sampai macan itu mati dengan luka arang krangjang. 
Untuk kemeriahan acara itu, hewan-hewan liar tadi diganggu agar marah. Pada macan, dengan cara menusuk-nusukkan besi panas agar marah besar dan bersemangat tarung tinggi. Adapun kerbau aduannya digepyok dengan dedaunan yang bisa menyebabkan gatal-gatal pada kulitnya atau disiram air lombok jemprit. Kedua-duanya jadi seperti hewan gila. Pertarungan baru selesai bila salah satu hewan tersebut sudah mati. Ada kalanya kerbau yang memenangkan pertarungan, akan tetapi lebih seringnya macanlah yang menang meski dengan luka di sekujur tubuhnya tertusuk tanduk kerbau yang sebelumnya telah diperuncing oleh para abdi dalem. Akan tetapi, bagaimanapun juga nasib macan memang jelek. Kalaulah macan menang melawan kerbau, dia pada akhirnya juga kehilangan nyawa beramai-ramai ditlorong tombak para prajurit.

Hingga akhir abad 19 keraton dan beberapa kabupaten di Jawa masih menggelar acara ini, akan tetapi sudah mulai kehilangan gregetnya . Memasuki abad 20 rampogan macan sudah tidak diselenggarakan lagi. Patut diduga hilangnya prosesi ritual rampogan ada hubungannya dengan semakin berkurangnya populasi macan di tanah Jawa. Sebabnya tidak lain karena banyak hutan yang dibabat untuk tanah pertanian, pemukiman serta pembangunan infrastruktur, seperti jalan raya dan jalan kereta api. Pembangunan jalan Daendels menjadi salah satu penyebab berkurangnya hutan di tanah Jawa. Pada setiap pal (7,5 km) di sepanjang 1000 km jalan yang Daendels bangun didirikan rumah-rumah pos peristirahatan, total terdapat 130an rumah peristirahan baru. Adanya rumah-rumah peristirahatan ini diikuti dengan berdirinya warung-warung dan kemudian rumah-rumah pemukiman. Ini menyebabkan hutan yang semula lebat sedikit demi sedikit berkurang. Akibatnya hewan-hewan penghuni hutan, khususnya macan pun ikut berkurang karenanya. Terlebih lagi jauh sebelum itu, hewan eksotis tersebut telah banyak diburu untuk dikorbankan pada upacara ritual rampogan, dimana setiap upacara rampogan rata-rata 7 – 8 ekor macan terbunuh sia-sia. Oleh karenanya pada akhirnya Pemerintah Hindia Belanda melarang penyelenggaraan upacara ritual rampogan sejak 1905 (dari berbagai sumber).

Views: 5900 | Added by: exsara | Tags: sejarah unnes, macan, jawa, sejarah | Rating: 5.0/2
Total comments: 0
Name *:
Email *:
Code *:
Investigationes
CHARLES S. ANDREWS
3139 Brownton Road
Long Community, MS 38915



+7 495 287-42-34 info@ucoz.com
Mirum
sample map