Home » Articles » My articles

GERAKAN MAHASISWA DAN REFORMASI 1998

GERAKAN MAHASISWA DAN REFORMASI 1998

Pandangan Pakyat VS Pandangan Pemerintah

Oleh: Ganda Kurniawan

 

Mahasiswa takut kepada Dosen

Dosen takut kepada Dekan

Dekan takut kepada Rektor

Rektor takut kepada Presiden

Presiden takut kepada Mahasiswa

Sebuah Pengantar

Mahasiswa memiliki posisi yang "ekslusif” dalam lingkungan sosialnya. Mereka identik dengan kaum intelejensia sebagai benih yang telah matang. Di Negara maju, mahasiswa akan lebih disambut sebagai calon untuk mempertinggi konstruksi gedung kemajuan Negara. Sedangkan bagi Negara berkembang atau Negara terbelakang, mahasiswa lebih dielukan untuk berperan menyelamatkan negeri dari keterpurukan.

Indonesia sebagai Negara berkembang sempat melewati masa krisis dalam penyelenggaraan Negara, khususnya di tahun 1998. Keterpurukan ini sangat menjamin adanya disintegrasi bangsa. Bukan saja karena semata-mata mutlak atas kebobrokan pemerintah, tapi juga terjerat sebuah permasalahan financial global yang memaksa rakyat Indonesia turut merasakan penderitaan ekonomi yang tidak biasa. Dengan kata lain ini adalah sebuah momentum kebobrokan ganda yaitu penyakit dalam negeri dan penyakit dari luar negeri. Rakyat sewajarnya telah menyerahkan permasalahan ini kepada para wakil-wakil rakyat. Akan tetapi apa daya dalam waktu yang ditentukan masalah belum juga diredam, maka semestinya para pemikir-pemikir eksekutif ini segera dirombak secara paksa. Rakyat menginginkan sebuah tatanan baru dan resolusi baru dalam konstelasi eksekutif.

Sebenarnya hal tersebut masih bisa cukup pihak eksekutif sendiri yang direformasi tanpa mengganti suatu rezim. Akan tetapi karena citra rezim Orde Baru sudah ternodai oleh KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) maka rakyat sudah semestinya menghendaki adanya perubahan rezim untuk memberi suasana warna baru. Namun ketika Pemimpin tetap berkata "tidak” untuk pergantian rezim, maka disinilah elemen rakyat bertindak. Bertindak dengan kapasitas sedikit tentunya merupakan hal yang percuma. Meski macan Orde Baru sudah ompong tapi setidaknya ia masih mempu mengunyah mangsa kecil. Dari sinilah sebuah kesadaran kolektif masyarakat sangat diperlukan, bahwa jika gerakan dengan kapasitas yang besar maka macan Orde Baru ini bisa dilumpuhkan. Itulah yang dinamakan dengan Reformasi.

Lalu bagaimana dengan peran mahasiswa? Soe Hok-Gie seorang aktivis angkatan ’66 memantapkan hakikat mahasiswa ketika dihadapkan dalam permasalahan diatas. Dalam catatan Hariannya tanggal 14 januari 1963 ia menuliskan:

"Dalam keadaan inilah seharusnya kaum intelegensia bertindak, berbuat sesuatu. . . . . . . .  Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Merek aharus bisa bebas di segala arus-arus masyarakat yang kacau. Seharusnya mereka bisa berpikir tenang karena predikat kesarjanaan itu (atau walaupun mereka bukan sarjana). Tetapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya ialah bertindak demi tanggungjawab sosialnya bila keadaan telah mendesak. Kelompok intelektual yang terus berdiam dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaanya. Ketika Hitler mulai membuas maka kelompok Inge School berkata tidak. Mereka (pemuda-pemuda Jerman ini) punya keberanian untuk berkata "tidak”. Mereka, walaupun masih muda, telah berani menentang pemimpin-pemimpin gang-gang bajingan, rezim Nazi yang semua identik. Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal. Mereka telah memenuhi panggilan seorang pemikir. Tidak ada indahnya (dalam arti romantic) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran”. (Gie. Catatan Seorang Demonstran. Hal.143-144)

Komparasi

Berakhirnya tragedy reformasi ini kita dapat memperoleh berbagai sudut pandang persepsi atas peristiwa yang telah berlalu ini. Untuk objektifnya saya ingin membandingkan dua sudut pandang sekaligus. Yang pertama yaitu sudut pandang dari sisi rakyat dan yang kedua adalah sudut pandang dari seorang pemimpin.

Untuk melihat sudut pandang dari kelompok rakyat (atau bukan golongan penguasa) saya mengintegrasikan 2 buku. Pertama saya membuat ikhtisar dari bukunya Satrio Arismunandar dengan judul Bergerak!: Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Orde Baru. Keterkaitannya dengan pers tentunya teorinya lebih bersifat upayanya mentransfer informasi kepada rakyat. Atau bisa juga setidaknya pers telah membantu membentuk persepsi pembaca atau rakyat untuk menindaklanjuti pemerintah.   

Bagi S. Arismunandar pergerakan mahasiswa diidentikan dengan gerakan social. Mengacu pada teorinya Turner & Killan yang menganggap gerakan social adalah salah satu bentuk utama dari perilaku kolektif. Secara formal gerakan social didefinisikan sebagai kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektivitas itu sendiri.

Ada sejumlah teori yang mencoba menunjukan akar dari gerakan social. Pertama, Teori deprivasi Relatif. Kedua, Teori Mobilisasi Sumber Daya. Ketiga, Teori Proses-politik.

Di dalam gerakan social juga terdapat teori Deprivasi Relatif. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang merasa kecewa karena adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Gerakan social muncul ketika orang merasa diabaikan atau tidak diperlakukan semestinya, relative dibandigkan dengan perlakuan terhadap orang lain atau bagaimana seharusnya mereka diperlakukan.

Dalam kaitan gerakan mahasiswa 1998, teori diatas cukup relevan. Krisis ekonomi yang parah semenjak Juli 1997 menimbulkan kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Masyarakat kelas menengah Indonesia, yang selama ini terkesan tenang dan patuh kepada rezim mulai gelisah dan mulai mendukung dalam gerakan reformasi. Keikutsertaan tersebut tampaknya dipicu oleh kepentingan mereka yang mulai terganggu oleh pembusukan system Orde Baru di bawah Soeharto, yang perosesnya dipercepat dengan terjadinya krisis ekonomi. Berbagai pemberitahuan pers nasional pada periode awal 1998 menjelang kejatuhan Soeharto menunjukan, bagaimana lapisan kelas menengah perkotaan ini mendukung gerakan mahasiswa dengan pasokan dana dan logistic dalam aksi-aksinya.

Sedangkan mahasiswa turun ke jalan selain karena kondisi objektif yang telah disebutkan diatas, juga ada kondiisi subjektif langsung berhubungan dengan kepentingan mahasiswa. Kondisi subjektif karena kondisi krisis ekonomi itu antara lain berupa meningkatnya biaya kebutuhan hidup, juga biaya untuk keperluan kuliah di perguruan tinggi. Dengan meningkatnya harga kebutuhan pokok, uang dari orang tua yang bisa dialokasikan untuk keperluan akademis juga semakin minim. Bahkan banyak mahasiswa terancam drop out.

Kesulitan uang ini terutama dirasakan para mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS), yang biaya kuliahnya relative lebih tinggi daripada perguruan tinggi negeri (PTN). Maka bisa dipahami bahwa dalam aksi-aksi mahasiswa 1997-1998, terlihat sangat besar peranan mahasiswa dari PTS. Sikap mereka juga tampak lebih radikal.

Krisis ekonomi juga menghasilkan banyak perusahaan ditutup, pengangguran meningakat, dan makin sulitnya mencari lapangan pekerjaan. Dalam konteks ini mahasiswa juga merasa kepentingannya terancam. Mereka terutama yang sudah kuliah di tingkat akhir tidak melihat urgrnsi untuk cepat menyelesaikan kuliah Karen aprospek lapangan kerja yang suram. Maka memprotes keadaan dengan turun ke jalan tampaknya menjadi pilihan yang wajar.

Teori yang kedua yaitu, Teori Mobilisasi Sumberdaya. Teori ini berargumen bahwa gerakan social muncul ketika orang memiliki akses pada sumber daya yang mungkin mereka mengorganisasikan suatu gerakan. Menurut asumsi teori ini, sejumlah ketisakpuasan selalu ada dalam masyarakat, namun sumberdaya yang dibutuhkan untuk membentuk gerakan-gerakan social tidak selalu tersedia.

Jadi teori ini lebih menekankan pada teknik, dan bukan pada penyebab gerakan social. Teori ini menggarisbawahi pentingnya pendayagunaan sumbberdaya secara efektif dalam manunjang gerakan social, karena gerakan social yang berhasil memerlukan organisasi dan taktik yang baik. teori ini memandang kepemimpinan, organisasi, dan taktik sebagai factor utama yang menetukan sukses tidaknya suatu gerakan social.

Namun dalam konteks gerakn mahasiswa 1998, sumberdaya bagi gerakan mahasiswa tampaknya dimudahkan karena adanya dukungan yang kuat dari berbagai kalangan masyarakat, di dalam maupun di luar kampus. Sumbangan dalam berbagai macam bentuk dari dosen, alumni, pengusaha kalangan kelas menengah dan kaum professional, organisasi nonpemerintah, pers dalam dan luar negeri, untuk gerakan mahasiswa punya andil besar dalam menggulirkan gerakan tersebut secara kesinambungan.

Ketiga, Teori Proses-politik. Teori ini erat kaitannya dengan teori Mobilisasi Sumberdaya. Pendekatan teori proses politik menekankan pada peluang-peluang bagi gerakan, yang diciptakan oleh proses politik dan social yang lebih besar. Tidak adanya represi yang diasosiasikan dengan masyarakat demokratis, industrialisasi, dan urbanisasi, dan adanya lingkungan politik yang memadai, misalnya mamudahkan bagi munculnya gerakan social. Ketika orang menyadari bahwa system itu rawan terhadap protes, gerakan social tampaknya lebih terdorong untuk muncul.

Dalam kaitan gerakan mahasiswa 1998, kondisi makro ekonomi politik di Indonesia saat itu tempaknya menyediakan peluang-peluang bagi gerakan mahasiswa. Pemerintahan Soeharto dalam keadaan lemah secara ekonomi, di bawah tekanan intenasional yang memiliki sumberdaya ekonomi, sehingga harus melakukan kompromi-kompromi  dan mau tak mau harus melonggarkan represinya.

 

Yang kedua, sumber yang saya gunakan adalah dari seorang pengamat Sosial yaitu Nugroho Trisnu Brata. Dalam thesisnya Prahara Reformasi Mei 1998 yang sebenarnya banyak membahas mengenai lapangan Reformasi 1998 di Yogyakarta ketimbang di Jakarta ini juga sempat mendefinisikan arti sebuah Gerakan mahasiswa. Apa yang dimaksud olehnya mengenai Gerakan mahasiswa 1998 adalah murni yang memberi implikasi berupa reformasi.

"Gerakan” memiliki ciri-ciri yaitu: "proses perubahan, gerak dari suatu kondisi kepada kondisi yang lain, memiliki tujuan atau cita-cita, dan dilakukan oleh sejumlah massa”. Karena dilakukan oleh sejumlah massa maka kemudian istilah itu lebih mengena maknannya dengan istilah "gerakan masa”. Jadi gerakan massa adalah suatu peruses perubahan yang bergerak dari suatu kondisi ke kondisi yang lain, dari system lama kepada system baru yang lebih baik, yang dilandasi oleh adanya tujuan atau cita-cita dan dilakukan oleh sejumlah massa. Gerakan massa sebagia sebuah proses menuju perubahan, dalam dataran teknis mamiliki 4 aspak yaitu: 1) tahap membangun kesadaran para anggota; 2) tahap merumuskan tujuan berikut visi dan misi gerakan; 3) tahap membangun solidaritas anggota; 4) tahap mobilisasi massa untuk melakukan demonstrasi dan mengekspresikan tujuan. Gerakan massa mewujudkan reformasi yang terjadi pada 20 Mei 1998 di Jogja sebenarnya adalah aspek nomor 4 dari gerakan masa yaitu tahap mobilisasi massa untuk melakukan demonstrasi dan mengekspresikan tujuan dengan menuntut presiden Soeharto mundur sebagai titik awal reformasi total di Indonesia.

Istilah reformasi yang awalnya sekedar diperbincangkan dan diperdebatkan kemudian diimplementasikan di lapangan dalam format aksi., yaitu gerakan masa. Gerakan massa mewujudkan reformasi ini mulai marak seiring dengan waktu pelaksanaan Sidang Umum MPR pada awal bulan Maret 1998. Gerakan massa tersebut semakin massif ketika salah satu hasil SU MPR adalah memilih kembali Soeharto sebagai Presiden 1998-2003, MPR diasumsikan tidak bisa mengangkap aspirasi masyarakat yang menginginkan adanya perubahan. Gerakan massa tersebut memuncak pada 20 Mei 1998 yang bertepatan dengan peringatan hari Kebangkitan Nasional, sehari kemudian yaitu 21 Mei 1998 Soeharto turun dari kursi presiden. Dalam gerakan masa  mewujudkan reformasi, kesadaran anggota gerakan (bukan penggembira) dibangun melalui masing-masing elemen gerakan Reformasi 1998 yang memiliki akar historis dan ideologis berbeda (Senat Mahasiswa, BEM, HMI MPO, KPRP, KMMI, PPPY, FAMPERA, dll), akan tetapi memiliki keasadaran bersama yaitu bahwa system pemerintahan Negara Indonesia di bawah orde baru dan Soeherto adalah pemerintahan yang diwarnai oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang merugikan rakyat dan Negara. Maka hanya dilakukan perubahan system kehidupan bernegara manuju system yang lebih baikdan tahap awal dari perubahan itu adalah dengan menjatuhkan pemerintahan Orde Baru dan Soeharto. Setelah jatuh maka akan dilanjutkan dengan melakukan perubahan yang berupa 6 agenda reformasi (tolak militerisasi, berantas KKN, amandemen UUD 1945, penegakan supremasi hukum, stabilitas ekonomi dan pengadilan Soeharto).

Isu turunkan Soeharto adalah titik temu antara pemahaman makna reformasi oleh masyarakat luas dengan pemahaman makna reformasi oleh mahasiswa sebagai motor gerakan massa mewujudkan reformasi. Soeharto menjadi musuh bersama yang bisa mempersatukan berbagai elemen gerakan massa dan masyarakat untuuk melawan Soeharto. Hal ini sejalan dengan  yang dikatakan Hoffer, bahwa untuk membangkitkan persatuan gerakan massa maka harusa ada "setan besar” sebagai musuh bersama.

 

 

Sebagai komparasinya saya menggunakan sebuah buku Biografi B.J Habibie yang ditulis oleh A. Makmur Makka, The True Life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan menggunakan sudut pandang seorang pemimpin atau wakil rakyat. Sudut pandang yang diperoleh dari B.J Habibie sendiri artinya ini menggunakan mata dari kelompok orang yang direformasi bukan yang mereformasi. Buku ini menyoroti dan menceritakan berbagai kemelut yang terjadi di kalangan atas. Saat reformasi terjadi B.J Habibie berkedudukan sebagai wakil presiden.

Walaupun Habibie memiliki hubungan yang erat dengan Soeharto, tidak berarti bahwa B.J Habibie selalu mengikuti apa saja yang diinginkan Soeharto. Dalam beberapa hari saja Habibie memimpin, ia telah mengubah banyak keputusan garis keras Soeharto seperti membebaskan narapidana politik dan tahanan politik yang dulu dianggp Soeharto sebagai sangat berbahaya, menghidupkan kebebasan pers yang sejak tahun ‘70an terkebiri. Gambaran tersebut memungkinkan bahwa dalam biografinya inilah ia tetap dapat berpandangan objektif, tidak memandang hitam putih ataupun memalaikatkan dan mempersetankan salah satu pihak.

Dimulai dari sebuah kemelut perekonomian yang paling mendasar dan paling memancing datangnya reformasi. Untuk mengetasi krisis ekonomi IMF akan memberikan bantuan sebesar US$ 40 miliar pada tanggal 16 Januari 1998, tetapi dalam waktu singkat upaya tersebut belum juga menunjukan hasil. Bahkan pertumbuha ekonomi Indonesia berada di titik minus 5%, dan sebulan kemudian turun drastic menjadi minus 15%. Dalam sekejap penduduk miskin di ndonesia menjadi 101 juta orang. GDP (Gross National Product) menurun 12,2% pada paruh pertama tahun 1998 merupakan kinerja terburuk dalam 30 terakhir. Utang Luar negeri swasta dan pemerintah mencapai US$ 138miliar. Nilai tukar Rupiah mulai mencapai 10000 per US$. Semua ini hanya menambah beban pemerintah untuk melakukan pembayaran. Begitu juga pendapatan dari sector minyak tidak lagi menjadi sumber pemasukan yang berarti seperti satu dasawarsa lalu. Indonesia mengalami kekurangan persediaan beras sampai 3,1 juta ton sehingga bahan-bahan makanan yang tersedia harganya tidak terjangkau oleh kebanyakan masyarakat.

Cukup menyedihkan, bank-bank lumpuh sehingga perlu direkapitasisasi. Akan tetapi persoalannya: dari mana bisa diperoleh uang untuk direkapitalisasi? Dalam APBN subsidi yang diberikan pemerintah sudah melambung 8,5% dari GDP. Sementara pemecahan masa depan politik masih remang-remang tidak mendorong penanaman investasi. Gerakan sparatisme mulai bermunculan. Rakyat lebih peduli pada sentiment-sentimen separatisme seperti yang terjadi di Aceh, Timor Timur, dan Irian Jaya. Hukum sudah tidak lagi dihiraukan dan kredibilitas TNI pun semakin merosot.

Klimaksnya ketika keadaan kehidupan rakyat semakin memprihatinkan. Itulah sebabnya gerakan aksi mass amahasiswa yang telah digelar setelah beberapa hari sebelumnya berkembang semakin marak di seluruh ibu kota provinsi di Indonesia, menuntuk dilaksanakannya reformasi dalam segala bidang kehidupan sebagaimana dikehendaki rakyat.

Sementara itu kalangan pemimpin ormas keagamaan, tokoh masyarakat, dan alim ulama menyampaikan pernyataan keprihatinan dan mendesak pemerintah mempercepat reformasi. Soeharto meminta agar diadakan dialog nasional dan pernyataan Wapres B.J Habibie bahwa reformasi merupakan keharusan, secara eksplisit dapat diartikan bahwa pemerintah tidak menutup diri terhadap reformasi. DPR langsung menanggapi hal tersebut dan menyelenggarakan rapat pimpinan DPR guna membahas berbagai agenda reformasi, termasuk reformasi di bidang politik. Reformasi politik tersebut mencakup penyempurnaan dan perubahan antara lain UU , Susunan dan Kedudukan DPR/MPR, UU Kepartaian, UU Pemilu. Reformasi di bidang ekonomi antara lain mencakur UU Anti Monopoli, UU Perlindungan Konsumen, dan UU Perbankan. Reformasi di bidang hukum meliputi antara lain UU Subversi dan UU Pemberantasan Korupsi. Kecuali itu tidak kalah penting DPR pun meminta penghapusan konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden.

Terjadi suatu kemelut yang terjadi kala tuntutan rakyat seperti disuarakan semua ormas dan orsospol, khususnya aksi mahasiswa, menghendaki Presiden Soeharto meletakan jabatannya secara konstitusional dan damai. Presiden Soeharto memang menanggapi ini dengan baik dan menindak lanjutinya dengan mengundang 9 tokoh masyarakat. Hasilnya adalah akan membentuk Komite Reformasi. Tanggal 17 Mei 1998 pimpinan DPR tetap memantau keberadaan DPR karena sesuai keterangan pers di media masa ada pernyataan Presiden Soeherto bahwa jika ada aspirasi yang menghendaki Presiden mengundurkan diri agar disampaikan kepada DPR. Itulah sebabnya ribuan mahasiswa dan masyarakat berbondong-bondong mendatangi DPR. Tekanan aksi mahasiswa dan masyarakat ini tetap menguat. Mereka terus beramai-ramai datang ke gedung DPR/MPR dan bertekad untuk tidak meninggalkan sampai tuntutan mereka terpenuhi agar DPR/MPR mengadakan siding istimewa mencabut mandate presiden Soeharto. Tanggal 19 Mei 1998 diadakan Rapat pimpinan DPR dan mengedakan konsultasi dengan presiden , namun hingga waktu yang ditentukan tidak ada jawaban dari presiden. Rapat pimpinan DPR melanjutkanya dengan mengeluarkan keterangan pers melalui konferensi pers dengan ratusan wartawan media cetak. Keterangan pers tersebut berisi: Pimpinan Dewan, baik Ketua maupun Wakil Ketua, mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri.

Soeharto merasa tidak masalah seandainya dia mundur namun ia masih menyangsikan akan hal ini (sesuai dengan konstitusi yaitu wakil presiden). Ia mengingatkan apakah dengan kemundurannya sebagai presiden itu akan membuat keadaan genting segera bisa diatasi, tidak tertutup kemungkinan penggantinya kelak bakal didemo oleh para demonstran. Karena itu, ia tetap memutuskan untuk meneruskan tugas sampai selesai.

Pertemuan presiden Soeharto dengan B.J Habibie terkesan penuh misteri. Presiden Soeharto bermaksud akan menyatakan mengundurkan diri kepada Pimpinan DPR/MPR sebagai presiden setelah Kabinet Reformasi dilantik. Hal ini masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab mengapa Soeharto tiba-tiba mengundurkan diri. Secara resmi di depan public tanggal 21 Mei 1998 Soeharto baru menyatakan pengunduran dirinya.

Kritik

Tampak perbedaan diantara kedua sudut pandang ini yang mencolok. Mereka dari sudut pandang dari mata rakyat banyak membahas sebuah arti tentang gerakan sosial dari kegiatan reformasi tersebut. Mereka lebih banyak menjelaskan bagaimana untuk memproduksikan sebuah reformasi. Aspek-aspeknya hampir selalu dicocokkan dengan berbagai teori sosial. Teori social tersebut merupakan generalisasi dari terdapat berbagai aspek sosial, meliputi aspek struktur sosial, perubahan sosial, aspek budaya, status, peran, motivasi, kepentingan, adaptasi, kesejahteraan, jumlah anggota (penduduk), perubahan perilaku, dan lain-lain. Tidak hanya itu, dalam karyanya Nugroho Trisnu Brata juga banyak bernarasi tentang tragedy tersebut khususnya tentang apa yang terjadi di UGM ketimbang yang terjadi di Jakarta. Namun ia telah membatasi dirinnya hanya bercerita tentang apa saja yang dilakukan para demonstran ketimbang banyak menceritakan tentang aktifitas para elite.

Sedangkan dimata seorang pemimpin, kisah Reformasi disajikan dalam rangkaian kemelut permasalahan yang terjadi di kalangan elit politik. Pembaca diajak untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi di berbagai bidang politik seperti perekonomian, konstitusi, Kabinet, Parlemen, sampai pada pergantian penguasa. Namun apa yang diceritakan tersebut masih tergolong objektif.

Bagi saya kedua sudut pandang tersebut sebaiknya memang sebuah perpaduan kelengkapan atau saling mengisi satu sama lain. Namun jika dikomparasikan rasanya sudut pandang dari mata penguasa lebih penting kasusnya daripada berbicara panjang lebar mengenai para pendapat rakyat. Sudut pandang dari elit tentunya lebih banyak mengetahui tentang permasalahan yang terjadi dan sesuatu yang sebenarnya tidak mudah untuk diselesaikan. Misalnya saja tentang permasalahan ekonomi, tentunya akan dijelaskan secara kuantitatif dan kompleks yang membuat pembaca berfikir mempertimbangkan dilemma berat bagaimana seharusnya. Atau juga ketika beratnya/ alotnya sebuah pertimbangan untuk pergantian rezim.

Lain lagi soal pandangan mereka yang menjabarkannya secara sosial. Kebanyakan mereka lebih melancarkan opini kritik akan ambisi-ambisi subversif. Namun ini termasuk hal yang wajar, ibarat botol berisi soda yang sudah lama dikocok dengan tertutup maka saat reformasi ini adalah sebuah luapan yang dahsyat. Maka jika membaca tentang teorinya akan lebih termotivasi dan membenarkan gerakan tersebut begitu pentingnya Soeharto untuk turun. Kelemahan dari sudut pandang rakyat adalah kurang memberikan penjelasan teknis apa yang sebenarnya yang terjadi. Mereka kurang mempedulikan beratnya permasalahan pemerintah, namun mereka lebih senang megkritisi. Bahkan telah mengkambinghitamkan salah satu pihak, seperti apa yang dikutip oleh Nugroho Trisnu Brata bahwa "sejalan dengan  yang dikatakan Hoffer, bahwa untuk membangkitkan persatuan gerakan massa maka harusa ada "setan besar” sebagai musuh bersama”.

 

Sumber

Arismunandar, Satrio. 2005. Bergerak!: Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Soeharto. Yogyakarta: Genta Press

Brata, Nugroho Trisnu. 2006. Prahara Reformasi 1998: Jejak-jejak Kesaksian. Semarang: UPT UNNES PRESS

Gie, Soe Hok. 1989. Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: Penerbit LP3ES

Makka, A. Makmur. 2008. The True Life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan. Jakarta: Pustaka IIMaN 



Source: http://simawa.unnes.ac.id
Category: My articles | Added by: exsara (2011-07-09) | Author: ganda kurniawan E W
Views: 9089 | Comments: 58 | Rating: 0.0/0
Total comments: 3
3 Thomasviow  
0
http://phanmemtop.com/anti-depression-definition/ - best antidepressant for postpartum depression

2 Alexisakquem  
0
Tulsa San Francisco Omaha Santa Ana Seattle Raleigh Saint Paul Washington



To Rodger family, I am very sorry for your loss... To Gus,Omar, my thoughts and prayers have been with you everyday... He loved and cherished the three of you!

January 25, 2017
Virginia Beach
Oklahoma City
Wichita

https://www.youtube.com/watch?v=ZY-r-A58Er4 - Emerson,Leland,Ethan,Rodolfo,Clark,Heath,Irvin,Ali,Adolph,Dylan,Duncan,Jamal,Evan ,Robbie,Wilfredo,Neal,Xavier,Ezra,Terence,Jackie,
Your friends Benito,Elliott,Booker,Eugenio,Elias,Cesar,Hershel,Johnathan,Gregg,Wendell,Alfonso ,Irvin,Robin,Lanny,Ervin,Freddy,Marco,Joan,Pasquale,Will,Teddy,Jefferson,Roderick ,Stan,Norris,Antony,Norbert,Burton,Vern,Blaine,Neal,Myron,Alton,Noe,Lynn,Carlo,Ir a,Jan,Scotty,Lionel,Marcos,Ned,Neal,Boyd,Collin,Archie,Elijah,Rocky,Santiago,Emil ,Elwood,Garrett,Anton,Jonathon,Ervin,Moises,Shelton,Taylor,Cary,Ulysses,Wilburn,W ilbert,Chance,Antoine,Brady,Zane,Aubrey,Jeremiah,August,Dewey,Brain,Emmett,Lucio, Marquis,Colin,Jake,Marty,Clay,Hans,Kurtis,Avery,Will,Micah,Carmen,Billie,Rickey,M argarito,Domingo,.

1 nugroho trisnu brata  
0
selamat untuk artikel ini, bagus, cuma saja tolong dperhatikan dg teliti bagaimana menulis kutipan tulisan orang lain dg baik dan benar...agar tidak di tuduh plagiat.

Name *:
Email *:
Code *:
Investigationes
CHARLES S. ANDREWS
3139 Brownton Road
Long Community, MS 38915



+7 495 287-42-34 info@ucoz.com
Mirum
sample map