Home » Articles » My articles |
Meningkatnya
Intensitas Zending Di Tengah Masyarakat Jawa Abangan Oleh: Nadia Ayu Kusuma 1.
Awal Masuknya Zending di Indonesia Misi Protestan
di Indonesia dimulai bersamaan dengan masuknnya ekspansi ekonomi dan dominasi
politik bangsa Belanda. Masih banyak orang menganggap
bahwa kedatangan kolonial Barat baik Portugis maupun Belanda ke
negeri ini karena motif ekonomi semata. Motif agama sering dilupakan. Padahal,
sejarah menunjukkan ada hubungan erat antara kolonialisme dan Kristenisasi.
Masuk dan menyebarnya agama Kristen di Indonesia terjadi serentak
dengan masuknya kolonialisme Barat. Sadar akan peranya sebagai penguasa kristen VOC
merasa wajib menyelenggarakan pekabaran injil sesuai artikel XXXVI pengakuan
iman Belgia yang berbunyi "... bahwa mereka melindungi tugas pelayanan yang
suci dan dengan demikian hendaknya membasmi dan mencegah semua penyembahan
berhala dan pemujaan yang salah, bahwa kerajaan anti kristus hendaknya
dihancurkan dan kerajaan kristus dikembangkan”. Dari sudut pandang inilah
pekabaran injil adalah tugas resmi pemerintah. Portugis maupun Belanda sama-sama datang
dengan membawa misi Kristen. Semenjak abad ke-17
sampai ke-18 sebenarnya pemerintah Belanda tidak melakukan penyebaran agama
secara sistematis di kalangan penduduk. Barulah di awal abad 19 muncul berbagai
lembaga non gerejawi (inisiatif kaum awam) dan non pemerintah yang mulai
bekerja di seluruh Indonesia. Abad 19 dapat dikatakan adalah puncak dari
penyebaran agama kristen. Hal ini terbukti dari meningkatnya jumlah misionaris
dibandingkan abad-abad sebelumnya. Memasuki abad 20, peningkatan tersebut semakin tajam
dengan mendapatkan dukungan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Para misionaris
kristen tersebut dikenal dengan istilah ”Zending" yang berarti Pekabaran Injil yaitu sebuah usaha untuk menyebarkan
agama Kristen.
Selain itu juga dapat disebut sebagai badan penyelenggara misi penyebaran
agama Kristen. Setelah jatuhnya
VOC Indonesia ditempatkan di bawah pemerintah kolonial Belanda. Hasrat Raja
Willem I untuk menyatukan berbagai denominasi yang ada di Indonesia (Lutheran,
Remonstrant, Mennonite dan Greja Reformed Belanda) menjadi satu gereja berhasil
direalisasikan tahun 1835 dengan pembentukan Indische Kerk. Pemerintah Belanda
tidak melarang pekabar Injil Non Calvinis dan Katolik berkarya di Hindia
Belanda. Tetapi, hanya ada tiga organisasi pekabar Injil Protestan Belanda Yang
berkarya di Jawa Tengah selama abad 19. A. Injil het Nederlandsch Zendeling
Genootschap (Perserikatan Pekabar Injil Belanda selanjutnya disingkat NZG). B. Injil Nederlandsch Gereformeerde
Zendings Vereeniging (Organisasi Pekabar Injil Gereja Gereformeerd Belanda
selanjutnya disingkat NZGV) C. Injil Doopsgezinde Vereening
Totbevordering Der Evangelieverbreiding In De Nederlandsche Overzeesche
Bezittingen (Doopsgenzinde Zendings Vereeniging selanjutnya disingkat DZV). 2.
Proses Kristenisasi Masyarakat Jawa Agama
Jawa dianggap sebagai sistem kepercayaan Sinkretik yang menyerupai sebuah kue
dengan lapisan demi lapisan unsur yang berbeda, masing-masing mempertahankan
wataknya sendiri. Sangat sulit melaksanakan pekabaran injil di Jawa karena
penduduknya telah lama menganut agama Islam. Akan tetapi di Jawa Timur dan Jawa
Tengah islam kurang berakar dalam jiwa rakyat dibandingkan dengan daerah lain.
Dasar pemikiran primitif dan hinduisme masih terasa dimana-mana. Oleh karena
itu Islam disana kurang fanatik lebih banyak bercampur dengan mistik dan agama
alam yang asli. Mayoritas
orang Jawa adalah Islam abangan yaitu muslim di permukaan saja dan muslim
karena kelahiran. Mereka sering disebut muslim dalam nama saja Islam dibibir
sementara hati tetap kafir. Oleh karena itu penaburan Injil di Jawa cukup besar
bahkan dari semua negeri di dunia ini yang beragama Islam, di Jawalah terdapat
jumlah kristen yang paling banyak sekitar 110.000 orang kristen penduduk asli
(Berkhof, 1992: 316). Kristenisasi
masyarakat pribumi sendiri dilakukan melalui 3 cara yaitu: a. Kristenisasi Masyarakat Pribumi oleh
Gereja Resmi b. Kristenisasi Masyarakat Pribumi oleh
Organisasi Misi c. Kristenisasi Masyarakat Pribumi oleh
Penginjil Awam Indische
Kerk sebagai gereja resmi yang bertugas menangani segala hal yang berkenaan
dengan gereja dan pekabaran Injil menolak untuk mengabarkan injil kepada orang
bukan Kristen dan pemerintah kolonial melarang Gereja ini melakukan Zending.
Pada tahun 1851 beberapa orang mendirikan Genootschap Van In- en Uitwendige
Zending (GIUZ) atau perkumpulan pekabaran di dalam dan di luar Gereja.
Perkumpulan pekabaran mengutus Zendeling yang bukan pendeta. Mereka bersemangat
mewartakan kabar gembira bahwa Jesus Kristus ialah sang penyelamat seluruh umat
manusia. Dari
ketiga cara tersebut Kristenisasi oleh Penginjil Awam ternyata merupakan cara
yang paling berhasil. Sejarah kekristenan di Jawa Tengah dan Jawa Timur
ditandai oleh munculnya sejumlah jemaat Kristen Jawa. Jemaat ini merupakan
hasil kerja orang-orang awam dan didirikanya sebelum datangnya organisasi
pekabaran injil. Banyak pensiunan Belanda dan Indo yang tinggal di Jawa Tengah
dan mengabdikan sisa hidupnya bagi kristus, karena bekerja sebagai staf
perkebunan maka mereka dapat menjalin hubungan dengan para pekerja dan petani
Jawa sehingga terbiasa dengan gaya hidup dan adat kebiasaan mereka. Para
pemilik perkebunan mempunya kebiasaan memperkerjakan beberapa pekerja Jawa
untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga. Berbekal semangat mengabarkan injil
dan kesalehan pribadi para majikan memperkenalkan iman Kristen kepada para
pekerjanya. Sambil mengajari mereka beberapa hal seperti kedisiplinan,
kesehatan, dan moralitas. Jemaat kristen Jawa yang terbentuk kemudian menjadi
"gereja rumah”. Anthing
seorang sarjana dan praktasi hukum yang tinggi di Semarang Jawa Tengah
berpendapat bahwa penginjilan kurang berbuah karena perbedaan sosial budaya
antara Zendeling dan orang pribumi terlalu besar. Maka Injil harus dikabarkan
oleh orang bangsa yang bersangkutan itu sendiri, walaupun mereka masih kurang
terdidik. Sejak
paruh kedua abad 19 jemaat kristen terdapat di banyak tempat di Jawa. Mereka
menyebar dan merupakan daerah-daerah kantong Kristen di tengah lingkungan
muslim. Secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama,
Indische Kerk bersifat kebaratan di Jawa Tengah jemaatnya dapat ditemukan di
sebelah utara, yaitu di daerah perkotaan Semarang dan di sebelah selatan daerah
Purworejo. Anggotanya terdiri dari sejumlah kecil orang Eropa dan Indonesia
dari luar Jawa yang bekerja pada pemerintahan dan perkebunan. Tujuan utamanya
adalah menggembalakan para anggotanya. Kedua,
jemaat yang dibentuk oleh berbagai
organisasi pekabaran injil yang bersifat eksklusif. Dengan menekankan pada
pengajaran murni, mereka berusaha menciptakan jemaat Kristen yang memiliki
pengakuan iman tertentu sesuai dengan denominasinya. Sebab mereka secara
implisit menuntut pemisahan radikal dari budaya pribumi, karena itu tidak
menarik simpati banyak orang, dan kenyataanya jumlah mereka tetap kecil. Ketiga,
jemaat yang didirikan oleh orang-orang awam dan penginjil Jawa bersifat
integratif. Walaupun mereka yang bertaubat ini dibaptis oleh pendeta dari
kelompok lain, mereka membentuk jemaat Jawa yang terpisah. Karena mereka
mendorong orang Jawa tetap menjadi bagian dari budaya dan masyarakat mereka,
maka jemaat ini tumbuh secara pesat. 3.
Hambatan-Hambatan Penginjilan Suatu
kenyataan yang tidak terelakkan bahwa orang Jawa memandang pekabaran injil
Belanda adalah bagian dari rezim kolonial yang merupakan penghalang bagi
pekabaran Injil. Para pekabar injil berada dalam posisi serba salah, perasaan
negatif semacam ini menjadi masalah serius dalam pekerjaan pekabaran Injil. Tidak
mungkin bagi para pekabar injil Belanda untuk mengesampingkan perasaan
superioritasnya karena mereka datang dari pihak dominan (penjajah). Disisi lain
sulit bagi orang Jawa mengatasi perasaan rendah diri mereka. Dengan kata lain
kedua pihak terkurung oleh posisi mereka masing-masing dalam struktur
masyarakat feodal. Hoezoo mencatat bahwa kekristenan dipandang sebagai agama
asing, agama penjajah Belanda yang dilihat oleh mereka sebagai "haus kekuasaan
dan sangat agresif”. Yesus diberi nama ejekan "Nabi orang Belanda”. Para
pemimpin mereka memperingatkan rakyatnya agar tidak mengikuti pekabar injil.
Peringatan itu hanya memperkuat pandangan negatif terhadap kekristenan dan
prasangka buruk terhadap para pekabar injil Belanda. Sikap yang sama juga
dimiliki oleh orang-orang pribumi yang menjadi pengawas pemerintah kolonial.
Mereka takut jika para pekabar injil berhasil mengkristenkan mereka maka mereka
akan memaksanya menjadi Belanda dan membuang tradisi budaya mereka. Belanda
dikarikaturkan sebagai pihak yang berhasrat membangun kekaisaran bagi kekayaan,
kejayaan, dan keagungan mereka sendiri. Menurut muslim Jawa sikap mementingkan
diri sendiri ini adalah petunjuk bahwa mereka kafir, makan daging babi, dan
tidak disunat. Kenyataan bahwa Belanda minum alkohol dan penggemar tarian
merupakan bukti lebih lanjut tentang kekafiran mereka. Tentu saja pandangan ini
membawa konsekuensi lebih jauh. Kesenjangan antara pekabar injil Belanda dan
pribumi Jawa menghalangi penyatuan Kristen ke dalam kehidupan orang Jawa. Diseluruh
Jawa gereja harus berjuang pada dua front: melawan pengaruh sekularisasi modern
(bahaya ini sudah tentu mengancam semua gereja muda) dan terhadap kuasa islam.
Di Jawa pernah ada gerakan yang mengidam-idamkan suatu kekristenan yang
bercorak Jawa sejati dan dipimpin oleh Sadrach di Jawa Tengah. Sayang cita-cita
mereka menyimpang dari injil, gerakan mereka tidak disetujui oleh
pemimpin-pemimpin zending. Bentuk-bentuk
penyimpangan yang dituduhkan kepada Sadrach dan jemaatnya diantaranya adalah: a) Sadrach menyatakan diri sebagai kristus. b) Sadrach menerima cium tangan dan kaki. c) Sadrach dan para pengikutnya
berpemanpilan bagai seorang priyayi penting. d) Sadrach dituduh mengagungkan diri karena
ia memakai beberapa gelar bangsawan Jawa. Walaupun sebenarnya tuduhan tersebut
terlalu berlebihan, Sadrach dan beberapa ajarannya sering kali disalahartikan
oleh para pengikutnya dan juga para pekabar injil Belanda. Sebagai contoh
Sadrach yang dituduh mengagungkan diri
karena ia memakai beberapa gelar bangsawan sebenarnya jika dilihat dari
kenyataan bahwa Karesidenan Bagelan tempat tinggal para pengikut Sadrach dahulu
merupakan bagian dari Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta yang sangat
dipengaruhi oleh tradisi kraton. Sehingga penggunaan sebutan bangsawan Jawa dan
pemberlakuan kebiasaan bangsawan mungkin merupakan akibat dari citra tersebut. Masalah adat Jawa dalam kehidupan jemaat
kristen Jawa muncul kepermukaan setelah para pekabar injil Belanda mulai
mengadakan kontak dengan jemaat Sadrach. Para pekabar injil sama sekali tidak
melihat manfaatnya adat Jawa dalam berjemaat dan menuntut orang-orang bertobat
supaya meninggalkan praktek semacam itu. Hortsman dan para pekabar injil lain
menganggap adat Jawa merupakan kekafiran dan bersifat tahayul dengan kata lain
adat Jawa merupakan pemujaan berhala. Para pekabar injil sangat menekankan
pemberitaan yang murni dan bersih. Sebaliknya orang Jawa memandang adat sebagai
sesuatu yang berharga yang sangat mempengaruhi seluruh masyarakat Jawa.
Orang-orang Jawa menolak mempercayai bahwa adat memperbudak mereka dan
karenanya terus menerus berjuang melawan penilaian negatif para pekabar injil. Daftar
Pustaka Berkhof. 1992. Sejarah
Gereja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Heuken,
A. 2003. Gereja-Gereja Tua Di Jakarta.
Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Soediman,
Soetarman. 2001. Komunitas Sadrach dan
Akar Kontekstualnya. Yogyakarta: PT BPK Gunung Mulia. Oasim,
Moch. 2003. Sejarah, Teologi, dan Etika
Agama-Agama. Yogyakarta: Dian/Interfidei. http://www.scorpiobali.cc.cc/s1p_SEJARAH_PERKEMBANGAN_AGAMA_208012 http://gedublaks.multiply.com/journal/item/45/KOLONIALISME_DAN_MISI_KRISTEN_ | |
Views: 1463 | Comments: 3 | |
Total comments: 0 | |